Selasa, 08 Mei 2012

Islam Dan Negara


ISLAM DAN NEGARA

Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.(kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Rabb-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabb-mu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun. Q.S Saba’ (34) 15

A.    ASAL MULA TERBENTUKNYA NEGARA
Menurut imam al-mawardi, manusia sebagai mahkluk social diciptakan allah dalam keadaan lemah,karena secara individual manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencukupi semua  kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Disamping itu,perbedaan individualitas,seperti perbedaan bakat, pembawaan, kecenderungan alami dan kemampuan, semuanya itu mendorong manusia untuk bersatu, bekerja sama dan saling membantu. Dari proses interaksi social itu secara evolusi membentuk komunitas hidup bermasyarakat, juga lahir kota-kota dan akhirnya sepakat mendirikan Negara. Dengan kata lain,sebab terlahirnya Negara adalah hajat umat manusia untuk mencukupi kebutuhan mereka bersama dalam suatu ikatan kerjasama yang sehat dan saling menguntungkan.
Menurut Munawir syadzali ”Organisasi kemasyarakatan merupakan keharusan bagi kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk politik atau social,dia tidak dapat hidup tanpa organisasi kemasyarakatan atau Negara”.negara merupakan persekutuan hidup,memiliki sejumlah penduduk dan merumuskan Negara sebagai Negara hokum dan suatu permusyawaratan. Sedangkan menurut al-mawardi “lembaga Negara dan pemerintahan adalah sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia”.dengan demikian, dimulai dari sini Negara dapat difahami sebagai lembaga politik atau organisasi pemerintahan sebagai manifestasi keberserikatan hidup didalam wilayah suatu masyarakat bangsa untuk mewujudkan ketertiban umum dan kesejahteraan bersama dengan berdasar kan sistem hukum.

Dalam teori kontrak social terbentuknya Negara madinah adalah setelah nabi muhammad SAW . yang didukung seluruh komponen penduduk setempat sepakat menerima “piagam  madinah” sebagai kontrak politik bersama. Aspirasi yang multietnis,kultur dan agama diakomodir dalam piagam yang terdiri dari 47 pasal. Memuat peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat madinah yang majemuk. Di Negara baru ini nabi bertindak layaknya seorang kepala Negara dengan piagam madinah sebagai konstitusinya. Pada periode madinah inilah totalitas ajaran islam yang berkaitan degan aspek social politik dan kenegaraan dapat ditetapkan secara efektif, karena agama dan kekuasaan poitik berjalan seiring.

B.     TUJUAN TERBENTUKNYA NEGARA
Menurut al-farabi, tujuan bermasyarakat atau bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja material, tetapi juga spiritual , tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat kelak. Ibnu abi rabi’ juga berpendapat bahwa tujuan pembentukan Negara adalah :
ü  Untuk menjamin kerukunan dan keserasian hubungan antara sesama manusia sebagai warga Negara.
ü  Untuk menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan atau hukum agar tercipta tata tertib kehidupan masyarakat dan kesejahteraan hidupnya.
ü  Untuk mengikis pelanggaran dan penganiayaan antara sesama anggota masyarakat yang dapat merusak keutuhannya.
Ibnu abi rabi’ juga mengungkapkan bahwa eksistensi Negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan perdamaian abadi, Negara memerlukan pemberlakuan hukum atau undang-undang dan peraturan yang bersumber dari AL-Qur’an dan al-Hadist. Disamping penegakan hukum, juga diperlukan pembinaan mental untuk menciptakan masyarakat yang berakhlak dan berakal sehat.
Dalam konteks tujuan pembentukan Negara dapat dikatakan bahwa Negara berkewajiban mewujudkan atau mengupayakan  bagaimana membangun masyarakat yang adil,makmur,bahagia, maju dan teratur.  Untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup bernegara tersebut adalah menjamin terlaksananya lima kebutuhan dasar manusiawi bagi setiap warga Negara. Lima kebutuhan dasar itu adalah :
1.      Melindungi keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan kekerasan diluar ketentuan hukum. Jangan sampai yang kuat menganiaya yang lemah.
2.      Melindungi keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama. Dalam hal ini menganut suatu agama dan beribadah menurut ajaran agamanya masing-masing.
3.      Melindungi keselamatan keluarga dan keturunan. Dalam hal ini mencegah jangan sampai ada hubungan antara laki-laki dan wanita di luar nikah.
4.      Melindungi keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum. Dalam hal ini jangan sampai yang kuat merampas hak milik orang lain.
5.      Melindungi keselamatan profesi. Dalam hal ini jangan sampai ada diskriminasi bagi setiap warga Negara untuk memperoleh kesempatan berkerja dan berusaha.
Negara dalam usahanya mencapai tujuan dan cita-citanya diperlukan landasan moral dengan menjaga terpeliharanya kehidupan beragama, soliodaritas social dan ahklak yang luhur sebagai proses kondisioning terbentuknya masyarakat yang sejahtera. Disamping itu suasana yang nyaman, aman dan tertib. Sebagai tujuan asasi bernegara diperlukan pemimpin yang adil dan berwibawa serta pemerintahan yang bersih dari penyimpangan dan kezaliman. Dalam hal ini sistem hukum dan penegakan hukum oleh hakim-hakim yang adil menjadi jaminan terwujudnya cita-cita luhur tujuan bermasyarakat dan bernegara yang baik, yakni memanusiakan kehidupan manusia yang manusiawi sesuai fitrah yang dikehendaki Allah SWT.

C.    PANDANGAN ISLAM TERHADAP NEGARA
Dalam tradisi politik islam terdapat tiga paradigma tentang pandangan islam mengenai integrasi agama dan negara. Nuansa diantara ketiga paradigma ini terletak pada konseptualisasi yang diberikan kepada kedua istilah tersebut kendati islam dipahami sebagai agama yang memiliki totalitas dalam pengertian meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia termasuk politik.
Paradigma pertama, adalah pemikiran para ulama syi’ah dan kelompok ulama konservatif,yang berusaha memecahkan dikotomi islam dan negara dengan tetap mempertahankan konsep integrasi (bersatunya) agama dan negara. Agama (islam) dan negara, dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integrated) wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya menurut pandangan ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas ”kedaulatan ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada ditangan Tuhan.
Dalam negara perspektif syi’ah, bersifat teokratis. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada ditangan tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu tuhan (syari’ah).
Menurut Masykuri Abdillah bahwa ada dua kelompok yang mendukung paradigma konsep integrasi agama dan negara, yang terdiri dari :
§  Kelompok tradisionalis, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi praktek dan pemikiran politik islam klasik atau abad pertengahan, seperti Rasyid Ridha.
§  Kelompok fundamentalis, yakni mereka ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran islam secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia, seperti Sayyid Qutub, Abua’la al-Maududi dan Hasan Tarubi.
Din Syamsuddin juga mengungkapkan bahwa paradigma penyatuan agama dan negara juga menjadi anutan kaum ”fundamentalisme islam” yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai islam yang dianggap mendasar dan prinsipil. Paradigma fundamentalisme menekankan totalitas islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Menurut salah seorang tokoh kelompok ini Al-Maududi (W. 1979), Syari’ah islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau antara agama dan negara. Syari’ah adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.
            Paradigma kedua, bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara. Karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
            Paradigma ketiga, konsep pemikiran sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada islam. Salah seorang pemrakarsa paradigma sekularistik ini adalah Ali Abd. Al-Raziq, seorang cendekiawan muslim dari mesir,  dalam bukunya yang kontroversial, berjudul al-islam wa usul al-hukm, bahwa islam tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, sistem kekhalifahan bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. Dalam Al-Qur’an dan al-Hadist tidak menentukan suatu bentuk sistem politik atau pemerintahan negara untuk didirikan oleh umat islam.
            Menurut Ali Abd. Al-Raziq, islam adalah suatu entitas keagamaan yang bertujuan untuk mewujudkan komunitas keagamaan bersifat non politik, tetapi komunitas itu jelas membutuhkan instrumen politik untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian menurut Ali Abd. Al-Raziq bahwa masyarakat islam bukannlah masyarakat politik tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat ini untuk mewujudkan bentuk pemerintahan islam yang sesuai dengan konteks budaya. Menurut Din Syamsuddin bahwa Ali Abd. Al-Raziq sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa islam tidak menganjurkan pembentukan sebuah negara, sebaliknya, islam menurutnya, memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa pembentukan negara atau pemerintahan itu merupakan salah satu ajaran dasar islam. Dalam ungkapan lain, kekuasaan politik diperlukan oleh umat islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.

D.    SISTEM POLITIK ISLAM
Dalam tradisi pemikiran sistem politik islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek sejarah perkembangan politik dunia islam dan kedua aspek pemikiran politik islam, yaitu sebagai berikut :
1.      Perkembangan bentuk pemerintahan Islam.
Dari segi bentuk negara maupun sistem pemerintahan, terdapat perbedaan antara masa nabi, masa Al-Khulafa’ar-Rasyidin dan sesudahnya. Sistem pemerintahan pada masa nabi lebih tepat disebut sebagai sistem teokrasi, karena beliau memang memerintah atas nama tuhan, melalui syari’atnya yang diwahyukan kepada nabi, baik dalam bentuk Qur’an dan Hadist, kekuasaan negara , baik dalam hal legislatif, eksekutif maupun yudikatif berada di tangan beliau sendiri, meskipun kadang-kadang beliau juga mendelegasikan kepada salah seorang sahabatnya.
Namun demikian dalam memecahkan persoalan-persoalan yng muncul sering juga nabi melakukan ”musyawarah” dengan para sahabatnya, dan tidak jarang beliau memutuskan secara demokrasis (suara terbanyak). Bahkan sebelum terjadinya penghianatan kelompok non muslim, terutama kaum yahudi. Terhadap piagam madinah, mereka juga ikut musyawarah ini.
Pada masa Al-Khulafa’ar-Rasyidin (11-41 H/ 632-661 M) bentuk negara atau sistem pemerintahan lebih tepat disebut sebagai republik, karena sistem pemilihan kepala negara dilakukan dengan cara pemilihan atau pengangkatan oleh rakyat atau wakilnya serta berdasarkan kriteria kesalehan dan kemampuannya, bukan berdasarkan kriteria kekeluargaan secara turun temurun. Dalam pengambilan keputusan para khalifah iru terbiasa melakukannya melalui musyawarah, terutama dengan para sahabat senior, yang kemudian oleh para ulama disebut sebagai ”ahlul hal wa al-aqd”, kumpulan para ahli yang kini dapat disamakan dengan lembaga permusyawaratan  rakyat (majlis syura). Pada periode Al-Khulafa’al-Rasyidin sistem pemerintahan tidak lagi berbentuk teokrasi, karena para khalifah itu bukan sebagai wakil tuhan dibumi ini.mereka hanya pengganti nabi dalam menjaga urusan keagamaan dan keduniaan.
Setelah periode Al-Khalafa’ ar-Rasyidin, yakni sejak dinasti munculnya umayyah sampai berakhirnya dinasti turki usmani, bentuk negara kemudian berkembang menjadi monarki, meskipun negara ini masih bernama kekhalifahan yang bersifat universal. Dengan bentuk ini kepala negara (Khalifah atau Sulthan) tidak lagi dipilih oleh rakyat atau wakilnya, terapi dipilih secara turun menurun dilingkungan dinasti tertentu saja. Syari’ah islam pun masih tetap menjadi hukum positif, meskipun dalam prakteknya sering terjadi campur tangan penguasa.
Pada masa kontemporer, terutama sejak berakhirnya dinasti Usmani pada tahin 1923 M, praktek kenegaraan di lingkungan umat islam banyak dipengaruhi oleh praktek kenegaraan barat. Hal ini terjadi akibat penjajahan barat, pendidikan modern dan dominasi politik barat atas negara-negara dunia ketiga, termasuk dunia islam. Menurut Samuel P. Huntington, meskipun secara teoritis (doktriner) islam itu kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi, dalam prakteknya jarang sekali sistem demokrasi dilaksanakan dinegara-negara muslim.
2.      Pemikiran politik islam
Ali Abd. Al-Raziq bahwa sistem politik pemerintahan menurut islam boleh mengambil bentuk apa saja, bahkan secara ekstrim beliau mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Mendakwahkan agama, dan tidak ada kaitannya dengan urusan kenegaraan. Dengan demikian, monarki, republik dan sosialis, asal disana terdapat prinsip syura’. Al-Qur’an tidaklah memberikan suatu pola ketatanegaraan tertentu secara pasti, yang harus diikuti oleh umat islam berbagai belahan dunia. Dalam hal ini dkemukakan dua argumen. Pertama, Al-Qur’an pada perinsipnya adalah petunjuk etis bagi manusia, ia bukanlah sebuah kitab ilmu politik. Kedua, sudah menjadi sunatullah bahwa institusi-institusi sosial politik dan organisasr selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa.
Menurut Nurcholish Madjid, nilai negara dan pemerintahan dalam islam adalah instrumental dan bukan tujuan itu sendiri. Prinsip dari segala prinsip yang dikehendaki oleh islam adalah taqwa kepada tuhan. Jadi bentuk pemerintahan atau negara adalah itu diwujudkan untuk menciptakan ruang dan waktu sebagai tempat bagi setiap manusia dalam mengembangkan taqwanya kepada tuhan. Jadi masalahnya adalah masalah etika moral dan kalau seseorang betul-betul mengikuti etika yang bersumber dari ketaatan dan tauhid,  hasilnya adalah sikap demokratis.
Negara Islam sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah. Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari ajaran Islam. Umat Islam menurut negara atau pemerintahan ini menjadi negara atau pemerintahan Islam. Yang penting adalah isi atau substansinya, bukan bentuk formalnya. Bentuk formal tidak ada manfaatnya kalau isinya tidak berubah. Jadi, boleh negara ini dikehendaki oleh Allah, yang diridhai-Nya. Negara seperti ini bisa ditumbuhkan melalui pendekatan budaya dalam arti seluas-luasnya. Termasuk didalamnya pendidikan, dakwah, kesenian, dan di antaranya yang terpenting adalah dinamika intelektual. Abdurrahman Wahid juga mengemukakan bahwa negara harus dilihat dari segi fungsinya, bukan dari normal formalnya, atau negara Islam atau bukan. Selama kaum Muslim dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh. Maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran yang urgen. 
E.     KONSEP DEMOKRASI ISLAM
Asas demokrasi dalam tinjauan al-Qur’an surat Ali Imran (3) : 159 :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Diantara sistem politik barat yang kini banyak direspon oleh umat islam adalah sistem demokrasi yang dianggap identik dengan konsep syura yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an tersebut di atas.
Demokrasi tidak hanya sebatas dalam sebuah masyarakat atau negara, tetapi juga antar negara. Dengan demikian demokrasi kini sudah menjadi ide yang bersifat universal, hampir seluruh negara di dunia, termasuk negara-negara Muslim, meskipun dengan disertai modifikasi baik dari segi konsep maupun bentuknya, sesuai dengan sistem keyakinan dan budaya lokal masing-masing negara.
Kata ”demokrasi” atau ”democracy”, berasal dari kata Yunani ”demos” yang berarti rakyat dan ”kratos” yang berarti pemerintahan. Jadi secara harfiah demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Secara historis demokrasi ini muncul sebagai respons terhadap sistem monarki diktator di Yunani pada abad V SM. Namun demokrasi modern yang muncul sejak abad XVI M. Telah mengalami perkembangan di mana demokrasi tidak hanya dipahami sebagai kelembagaan trias politika, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal, terutama persamaan, kebebasan dan pluralisme.
Dalam tradisi pemikiran Islam, para cendekiawan Muslim yang mendukung ide demokrasi beranggapan bahwa sistem demokrasi ini merupakan sistem pemerintahan mayoritas yang menerapkan metode permusyawaratan konsep demokrasi dengan konsep syura yang terdapat dalam Al-Qur’an surah Asy-Syurah (23) : 38 dan surah Ali Imran (3) : 159. hal ini didukung juga oleh fakta sejarah bahwa Nabi juga pernah mengambil keputuan berdasarkan suara terbanyak atau demokrasi, yakni ketika beliau memutuskan posisi kaum Muslim dalam perang Uhud untuk melakukan tindakan ofensif menghadapi serbuan kaum Musyrikin.
Fazlur Rahman menambahkan argumentasi ini dengan proses permusyawaratan yang terjadi pada pertemuan di Balai Saidah segera setelah Nabi Saw. Wafat. Pada waktu itu Abu Bakar yang terpilih sebagai khalifah pertama menyampaikan pidato pelantikannya, yang isinya menerima mandat dari rakyat untuk melaksanakan  Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Selama ia melaksanakan mandat ini, ia harus diturunkan.
Adapun bentuk demokrasi dapat berbeda-beda sesuai kondisi yang ada dalam suatu masyarakat Islam, yang penting adalah pelakanaan prinsip syura, yang secara sadar dihormati dan dipertahankan. Dalam konteks ini ijtihad politik berperan penting untuk merumuskan bentuk demokrasi yang sesuai dengan budaya masyarakat Islam setempat. Oleh karena itu umat Islam bebas menentukan tipe sistem politik demokrasi yang mereka inginkan. Secara historis, institusi semacam syura ini sudah ada sejak masyarakat pra Islam, dalam urusan bersama mereka menjalankan melalui permusyawaratan. Tentu saja Al-Qu’an melakukan perubahan mendasar terutama merubah syura dari sebuah institusi suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.
Menurut Muhammad Iqbal, kohesi antara Islam dengan ide demokrasi terletak pada prinsip persamaan (equality), yang di dalam Islam dimanifestasikan oleh ajaran Tauhid sebagai satu gagasan kerja dalam kehidupan sosio-politik umat Islam. Hakikat Tauhid satu gagasan kerja ialah persamaan, solidaritas dan kebebasan. Agar Tauhid sebagai satu gagasan kerja itu bisa membumi, hendaklah umat Islam secara sadar dan kreatif membangun kembali sosio-politiknya dengan menciptakan demokrasi spiritual di muka bumi. Bagi Iqbal, kekurangan demokrasi Barat tampaknya pada ospek spiritualnya itu, selebihnya demokrasi Barat tidak ada persoalan untuk diterima dan diterapkan sebagai sistem politik. Menurut M. Syafi’i Anwar, bahwa konsep syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur’an, maka sistem demokrasi nampak lebih cocok atau mendekati kepada cita-cita utama politik Al-Qur’an, sekalipun tidak harus identik dengan sistem politik demokrasi Barat.
Amin Rais, mengemukakan sistem politik demokrasi Islam dengan konsep ”theo demokrasi’ yang ciri-cirinya sebagai berikut :
1.      Harus dijalankan atas dasar keadilan dalam berbagai bidang kehidupan, sejalan dengan Al-Qur’an surah An-Nisa’ (4) : 135.
2.      Ditegakkan atas dasar syura bukan elitisme dan diskriminasi etnis. Kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan mandat dari Tuhan, sedangkan pemimpin hanyalah pelayan umat {Q.S. An-Nisa’(4) : 159}.
3.      Ditegakkan atas dasar persaudaraan Islam tanpa diskriminasi. Amin Rais menambahkan pula bahwa pentingnya konsep syura (theo demokrasi) sebagai prinsip fundamental dalam menjamin negara dan masyarakat agar tidak hancur dan hanyut dalam kultus individu serta jatuh pada sistem pemerintahan fir’aunisme.