ISLAM DAN NEGARA
Sesungguhnya bagi kaum Saba ada
tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di
sebelah kanan dan di sebelah kiri.(kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu
dari rezki yang (dianugerahkan) Rabb-mu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya.(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabb-mu) adalah Rabb Yang
Maha Pengampun. Q.S Saba’ (34) 15
A.
ASAL
MULA TERBENTUKNYA NEGARA
Menurut
imam al-mawardi, manusia sebagai mahkluk social diciptakan allah dalam keadaan
lemah,karena secara individual manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencukupi
semua
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Disamping itu,perbedaan
individualitas,seperti perbedaan bakat, pembawaan, kecenderungan alami dan
kemampuan, semuanya itu mendorong manusia untuk bersatu, bekerja sama dan
saling membantu. Dari proses interaksi social itu secara evolusi membentuk
komunitas hidup bermasyarakat, juga lahir kota-kota dan akhirnya sepakat
mendirikan Negara. Dengan kata lain,sebab terlahirnya Negara adalah hajat umat
manusia untuk mencukupi kebutuhan mereka bersama dalam suatu ikatan kerjasama
yang sehat dan saling menguntungkan.
Menurut
Munawir syadzali ”Organisasi kemasyarakatan merupakan keharusan bagi kehidupan
manusia. Manusia adalah makhluk politik atau social,dia tidak dapat hidup tanpa
organisasi kemasyarakatan atau Negara”.negara merupakan persekutuan
hidup,memiliki sejumlah penduduk dan merumuskan Negara sebagai Negara hokum dan
suatu permusyawaratan. Sedangkan menurut al-mawardi “lembaga Negara dan
pemerintahan adalah sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan
mengatur urusan dunia”.dengan demikian, dimulai dari sini Negara dapat difahami
sebagai lembaga politik atau organisasi pemerintahan sebagai manifestasi
keberserikatan hidup didalam wilayah suatu masyarakat bangsa untuk mewujudkan
ketertiban umum dan kesejahteraan bersama dengan berdasar kan sistem hukum.
Dalam
teori kontrak social terbentuknya Negara madinah adalah setelah nabi muhammad
SAW . yang didukung seluruh komponen penduduk setempat sepakat menerima
“piagam madinah” sebagai kontrak politik
bersama. Aspirasi yang multietnis,kultur dan agama diakomodir dalam piagam yang
terdiri dari 47 pasal. Memuat peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas
dalam masyarakat madinah yang majemuk. Di Negara baru ini nabi bertindak
layaknya seorang kepala Negara dengan piagam madinah sebagai konstitusinya.
Pada periode madinah inilah totalitas ajaran islam yang berkaitan degan aspek
social politik dan kenegaraan dapat ditetapkan secara efektif, karena agama dan
kekuasaan poitik berjalan seiring.
B.
TUJUAN
TERBENTUKNYA NEGARA
Menurut
al-farabi, tujuan bermasyarakat atau bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang
akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja material, tetapi juga
spiritual , tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat kelak.
Ibnu abi rabi’ juga berpendapat bahwa tujuan pembentukan Negara adalah :
ü Untuk
menjamin kerukunan dan keserasian hubungan antara sesama manusia sebagai warga
Negara.
ü Untuk
menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan atau hukum agar tercipta tata tertib
kehidupan masyarakat dan kesejahteraan hidupnya.
ü Untuk
mengikis pelanggaran dan penganiayaan antara sesama anggota masyarakat yang
dapat merusak keutuhannya.
Ibnu
abi rabi’ juga mengungkapkan bahwa eksistensi Negara dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan perdamaian abadi, Negara memerlukan pemberlakuan
hukum atau undang-undang dan peraturan yang bersumber dari AL-Qur’an dan
al-Hadist. Disamping penegakan hukum, juga diperlukan pembinaan mental untuk
menciptakan masyarakat yang berakhlak dan berakal sehat.
Dalam
konteks tujuan pembentukan Negara dapat dikatakan bahwa Negara berkewajiban
mewujudkan atau mengupayakan bagaimana
membangun masyarakat yang adil,makmur,bahagia, maju dan teratur. Untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup
bernegara tersebut adalah menjamin terlaksananya lima kebutuhan dasar manusiawi
bagi setiap warga Negara. Lima kebutuhan dasar itu adalah :
1. Melindungi
keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan kekerasan diluar ketentuan
hukum. Jangan sampai yang kuat menganiaya yang lemah.
2. Melindungi
keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.
Dalam hal ini menganut suatu agama dan beribadah menurut ajaran agamanya
masing-masing.
3. Melindungi
keselamatan keluarga dan keturunan. Dalam hal ini mencegah jangan sampai ada
hubungan antara laki-laki dan wanita di luar nikah.
4. Melindungi
keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum. Dalam hal ini
jangan sampai yang kuat merampas hak milik orang lain.
5. Melindungi
keselamatan profesi. Dalam hal ini jangan sampai ada diskriminasi bagi setiap
warga Negara untuk memperoleh kesempatan berkerja dan berusaha.
Negara
dalam usahanya mencapai tujuan dan cita-citanya diperlukan landasan moral
dengan menjaga terpeliharanya kehidupan beragama, soliodaritas social dan
ahklak yang luhur sebagai proses kondisioning terbentuknya masyarakat yang
sejahtera. Disamping itu suasana yang nyaman, aman dan tertib. Sebagai tujuan
asasi bernegara diperlukan pemimpin yang adil dan berwibawa serta pemerintahan
yang bersih dari penyimpangan dan kezaliman. Dalam hal ini sistem hukum dan
penegakan hukum oleh hakim-hakim yang adil menjadi jaminan terwujudnya
cita-cita luhur tujuan bermasyarakat dan bernegara yang baik, yakni
memanusiakan kehidupan manusia yang manusiawi sesuai fitrah yang dikehendaki
Allah SWT.
C.
PANDANGAN
ISLAM TERHADAP NEGARA
Dalam tradisi
politik islam terdapat tiga paradigma tentang pandangan islam mengenai
integrasi agama dan negara. Nuansa diantara ketiga paradigma ini terletak pada
konseptualisasi yang diberikan kepada kedua istilah tersebut kendati islam
dipahami sebagai agama yang memiliki totalitas dalam pengertian meliputi
keseluruhan aspek kehidupan manusia termasuk politik.
Paradigma
pertama, adalah pemikiran para ulama syi’ah dan kelompok ulama konservatif,yang
berusaha memecahkan dikotomi islam dan negara dengan tetap mempertahankan
konsep integrasi (bersatunya) agama dan negara. Agama (islam) dan negara, dalam
hal ini, tidak dapat dipisahkan (integrated) wilayah agama juga meliputi
politik atau negara. Karenanya menurut pandangan ini, negara merupakan lembaga
politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas
”kedaulatan ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada ditangan
Tuhan.
Dalam negara
perspektif syi’ah, bersifat teokratis. Negara teokratis mengandung unsur
pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada ditangan tuhan, dan konstitusi negara
berdasarkan pada wahyu tuhan (syari’ah).
Menurut
Masykuri Abdillah bahwa ada dua kelompok yang mendukung paradigma konsep
integrasi agama dan negara, yang terdiri dari :
§
Kelompok
tradisionalis, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi praktek dan
pemikiran politik islam klasik atau abad pertengahan, seperti Rasyid Ridha.
§
Kelompok
fundamentalis, yakni mereka ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan
kembali kepada ajaran islam secara total dan menolak sistem yang dibuat
manusia, seperti Sayyid Qutub, Abua’la al-Maududi dan Hasan Tarubi.
Din Syamsuddin juga
mengungkapkan bahwa paradigma penyatuan agama dan negara juga menjadi anutan
kaum ”fundamentalisme islam” yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai islam
yang dianggap mendasar dan prinsipil. Paradigma fundamentalisme menekankan
totalitas islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Menurut salah seorang
tokoh kelompok ini Al-Maududi (W. 1979), Syari’ah islam tidak mengenal
pemisahan antara agama dan politik atau antara agama dan negara. Syari’ah
adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan
kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.
Paradigma
kedua, bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan
timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara.
Karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan
agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan
moral.
Paradigma
ketiga, konsep pemikiran sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan
integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai
gantinya, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada islam. Salah
seorang pemrakarsa paradigma sekularistik ini adalah Ali Abd. Al-Raziq, seorang
cendekiawan muslim dari mesir, dalam
bukunya yang kontroversial, berjudul al-islam wa usul al-hukm, bahwa islam
tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, sistem
kekhalifahan bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi
sebuah sistem yang duniawi. Dalam Al-Qur’an dan al-Hadist tidak menentukan
suatu bentuk sistem politik atau pemerintahan negara untuk didirikan oleh umat
islam.
Menurut
Ali Abd. Al-Raziq, islam adalah suatu entitas keagamaan yang bertujuan untuk
mewujudkan komunitas keagamaan bersifat non politik, tetapi komunitas itu jelas
membutuhkan instrumen politik untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian menurut
Ali Abd. Al-Raziq bahwa masyarakat islam bukannlah masyarakat politik tetapi
selalu ada peluang bagi masyarakat ini untuk mewujudkan bentuk pemerintahan
islam yang sesuai dengan konteks budaya. Menurut Din Syamsuddin bahwa Ali Abd.
Al-Raziq sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa islam tidak menganjurkan
pembentukan sebuah negara, sebaliknya, islam menurutnya, memandang penting
kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa pembentukan negara atau
pemerintahan itu merupakan salah satu ajaran dasar islam. Dalam ungkapan lain,
kekuasaan politik diperlukan oleh umat islam, tetapi bukan karena tuntutan
agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.
D. SISTEM
POLITIK
ISLAM
Dalam tradisi
pemikiran sistem politik islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek
sejarah perkembangan politik dunia islam dan
kedua aspek pemikiran politik islam, yaitu
sebagai berikut :
1.
Perkembangan bentuk pemerintahan Islam.
Dari segi bentuk negara maupun sistem pemerintahan,
terdapat perbedaan antara masa nabi, masa Al-Khulafa’ar-Rasyidin dan
sesudahnya. Sistem pemerintahan pada masa nabi lebih tepat disebut sebagai
sistem teokrasi, karena beliau memang memerintah atas nama tuhan, melalui
syari’atnya yang diwahyukan kepada nabi, baik dalam bentuk Qur’an dan Hadist,
kekuasaan negara , baik dalam hal legislatif, eksekutif maupun yudikatif berada
di tangan beliau sendiri, meskipun kadang-kadang beliau juga mendelegasikan
kepada salah seorang sahabatnya.
Namun demikian dalam memecahkan persoalan-persoalan yng
muncul sering juga nabi melakukan ”musyawarah” dengan para sahabatnya, dan
tidak jarang beliau memutuskan secara demokrasis (suara terbanyak). Bahkan
sebelum terjadinya penghianatan kelompok non muslim, terutama kaum yahudi.
Terhadap piagam madinah, mereka juga ikut musyawarah ini.
Pada masa Al-Khulafa’ar-Rasyidin (11-41 H/ 632-661 M)
bentuk negara atau sistem pemerintahan lebih tepat disebut sebagai republik,
karena sistem pemilihan kepala negara dilakukan dengan cara pemilihan atau
pengangkatan oleh rakyat atau wakilnya serta berdasarkan kriteria kesalehan dan
kemampuannya, bukan berdasarkan kriteria kekeluargaan secara turun temurun.
Dalam pengambilan keputusan para khalifah iru terbiasa melakukannya melalui
musyawarah, terutama dengan para sahabat senior, yang kemudian oleh para ulama
disebut sebagai ”ahlul hal wa al-aqd”, kumpulan para ahli yang kini dapat
disamakan dengan lembaga permusyawaratan
rakyat (majlis syura). Pada periode Al-Khulafa’al-Rasyidin sistem pemerintahan
tidak lagi berbentuk teokrasi, karena para khalifah itu bukan sebagai wakil
tuhan dibumi ini.mereka hanya pengganti nabi dalam menjaga urusan keagamaan dan
keduniaan.
Setelah periode Al-Khalafa’ ar-Rasyidin, yakni sejak
dinasti munculnya umayyah sampai berakhirnya dinasti turki usmani, bentuk
negara kemudian berkembang menjadi monarki, meskipun negara ini masih bernama
kekhalifahan yang bersifat universal. Dengan bentuk ini kepala negara (Khalifah
atau Sulthan) tidak lagi dipilih oleh rakyat atau wakilnya, terapi dipilih
secara turun menurun dilingkungan dinasti tertentu saja. Syari’ah islam pun
masih tetap menjadi hukum positif, meskipun dalam prakteknya sering terjadi
campur tangan penguasa.
Pada masa kontemporer, terutama sejak berakhirnya dinasti
Usmani pada tahin 1923 M, praktek kenegaraan di lingkungan umat islam banyak
dipengaruhi oleh praktek kenegaraan barat. Hal ini terjadi akibat penjajahan
barat, pendidikan modern dan dominasi politik barat atas negara-negara dunia
ketiga, termasuk dunia islam. Menurut Samuel P. Huntington, meskipun secara
teoritis (doktriner) islam itu kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi, dalam
prakteknya jarang sekali sistem demokrasi dilaksanakan dinegara-negara muslim.
2. Pemikiran
politik islam
Ali Abd. Al-Raziq bahwa sistem politik pemerintahan
menurut islam boleh mengambil bentuk apa saja, bahkan secara ekstrim beliau
mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Mendakwahkan agama, dan tidak ada kaitannya
dengan urusan kenegaraan. Dengan demikian, monarki, republik dan sosialis, asal
disana terdapat prinsip syura’. Al-Qur’an tidaklah memberikan suatu pola
ketatanegaraan tertentu secara pasti, yang harus diikuti oleh umat islam
berbagai belahan dunia. Dalam hal ini dkemukakan dua argumen. Pertama,
Al-Qur’an pada perinsipnya adalah petunjuk etis bagi manusia, ia bukanlah
sebuah kitab ilmu politik. Kedua, sudah menjadi sunatullah bahwa
institusi-institusi sosial politik dan organisasr selalu mengalami perkembangan
dari masa ke masa.
Menurut Nurcholish Madjid, nilai negara dan pemerintahan
dalam islam adalah instrumental dan bukan tujuan itu sendiri. Prinsip dari
segala prinsip yang dikehendaki oleh islam adalah taqwa kepada tuhan. Jadi
bentuk pemerintahan atau negara adalah itu diwujudkan untuk menciptakan ruang
dan waktu sebagai tempat bagi setiap manusia dalam mengembangkan taqwanya
kepada tuhan. Jadi masalahnya adalah masalah etika moral dan kalau seseorang
betul-betul mengikuti etika yang bersumber dari ketaatan dan tauhid, hasilnya adalah sikap demokratis.
Negara Islam sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah.
Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari ajaran Islam. Umat Islam
menurut negara atau pemerintahan ini menjadi negara atau pemerintahan Islam.
Yang penting adalah isi atau substansinya, bukan bentuk formalnya. Bentuk
formal tidak ada manfaatnya kalau isinya tidak berubah. Jadi, boleh negara ini
dikehendaki oleh Allah, yang diridhai-Nya. Negara seperti ini bisa ditumbuhkan
melalui pendekatan budaya dalam arti seluas-luasnya. Termasuk didalamnya
pendidikan, dakwah, kesenian, dan di antaranya yang terpenting adalah dinamika
intelektual. Abdurrahman Wahid juga mengemukakan bahwa negara harus dilihat
dari segi fungsinya, bukan dari normal formalnya, atau negara Islam atau bukan.
Selama kaum Muslim dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara
penuh. Maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran yang
urgen.
E.
KONSEP
DEMOKRASI
ISLAM
Asas
demokrasi dalam tinjauan al-Qur’an surat Ali Imran (3) : 159 :
Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Diantara
sistem politik barat yang kini banyak direspon oleh umat islam adalah sistem
demokrasi yang dianggap identik dengan konsep syura yang terdapat dalam ayat
Al-Qur’an tersebut di atas.
Demokrasi tidak hanya sebatas dalam sebuah masyarakat
atau negara, tetapi juga antar negara. Dengan demikian demokrasi kini sudah
menjadi ide yang bersifat universal, hampir seluruh negara di dunia, termasuk
negara-negara Muslim, meskipun dengan disertai modifikasi baik dari segi konsep maupun bentuknya,
sesuai dengan sistem keyakinan dan budaya lokal masing-masing negara.
Kata ”demokrasi” atau ”democracy”, berasal dari kata
Yunani ”demos” yang berarti rakyat dan ”kratos” yang berarti pemerintahan. Jadi
secara harfiah demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Secara historis demokrasi
ini muncul sebagai respons terhadap sistem monarki diktator di Yunani pada abad
V SM. Namun demokrasi modern yang muncul sejak abad XVI M. Telah mengalami
perkembangan di mana demokrasi tidak hanya dipahami sebagai kelembagaan trias
politika, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal, terutama persamaan,
kebebasan dan pluralisme.
Dalam tradisi pemikiran Islam, para cendekiawan Muslim
yang mendukung ide demokrasi beranggapan bahwa sistem demokrasi ini merupakan
sistem pemerintahan mayoritas yang menerapkan metode permusyawaratan konsep
demokrasi dengan konsep syura yang terdapat dalam Al-Qur’an surah Asy-Syurah
(23) : 38 dan surah Ali Imran (3) : 159. hal ini didukung juga oleh fakta
sejarah bahwa Nabi juga pernah mengambil keputuan berdasarkan suara terbanyak
atau demokrasi, yakni ketika beliau memutuskan posisi kaum Muslim dalam perang
Uhud untuk melakukan tindakan ofensif menghadapi serbuan kaum Musyrikin.
Fazlur Rahman menambahkan argumentasi ini dengan proses
permusyawaratan yang terjadi pada pertemuan di Balai Saidah segera setelah Nabi
Saw. Wafat. Pada waktu itu Abu Bakar yang terpilih sebagai khalifah pertama
menyampaikan pidato pelantikannya, yang isinya menerima mandat dari rakyat
untuk melaksanakan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah. Selama ia melaksanakan mandat ini, ia harus diturunkan.
Adapun bentuk demokrasi dapat berbeda-beda sesuai kondisi
yang ada dalam suatu masyarakat Islam, yang penting adalah pelakanaan prinsip
syura, yang secara sadar dihormati dan dipertahankan. Dalam konteks ini ijtihad
politik berperan penting untuk merumuskan bentuk demokrasi yang sesuai dengan
budaya masyarakat Islam setempat. Oleh karena itu umat Islam bebas menentukan
tipe sistem politik demokrasi yang mereka inginkan. Secara historis, institusi
semacam syura ini sudah ada sejak masyarakat pra Islam, dalam urusan bersama
mereka menjalankan melalui permusyawaratan. Tentu saja Al-Qu’an melakukan
perubahan mendasar terutama merubah syura dari sebuah institusi suku menjadi
institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan
iman.
Menurut Muhammad Iqbal, kohesi antara Islam dengan ide
demokrasi terletak pada prinsip persamaan (equality), yang di dalam Islam
dimanifestasikan oleh ajaran Tauhid sebagai satu gagasan kerja dalam kehidupan
sosio-politik umat Islam. Hakikat Tauhid satu gagasan kerja ialah persamaan,
solidaritas dan kebebasan. Agar Tauhid sebagai satu gagasan kerja itu bisa
membumi, hendaklah umat Islam secara sadar dan kreatif membangun kembali
sosio-politiknya dengan menciptakan demokrasi spiritual di muka bumi. Bagi
Iqbal, kekurangan demokrasi Barat tampaknya pada ospek spiritualnya itu,
selebihnya demokrasi Barat tidak ada persoalan untuk diterima dan diterapkan
sebagai sistem politik. Menurut M. Syafi’i Anwar, bahwa konsep syura merupakan
gagasan politik utama dalam Al-Qur’an, maka sistem demokrasi nampak lebih cocok
atau mendekati kepada cita-cita utama politik Al-Qur’an, sekalipun tidak harus
identik dengan sistem politik demokrasi Barat.
Amin Rais, mengemukakan sistem politik demokrasi Islam
dengan konsep ”theo demokrasi’ yang ciri-cirinya sebagai berikut :
1.
Harus
dijalankan atas dasar keadilan dalam berbagai bidang kehidupan, sejalan dengan
Al-Qur’an surah An-Nisa’ (4) : 135.
2.
Ditegakkan
atas dasar syura bukan elitisme dan diskriminasi etnis. Kedaulatan rakyat
sesungguhnya merupakan mandat dari Tuhan, sedangkan pemimpin hanyalah pelayan
umat {Q.S. An-Nisa’(4) : 159}.
3.
Ditegakkan
atas dasar persaudaraan Islam tanpa diskriminasi. Amin Rais menambahkan pula
bahwa pentingnya konsep syura (theo demokrasi) sebagai prinsip fundamental
dalam menjamin negara dan masyarakat agar tidak hancur dan hanyut dalam kultus
individu serta jatuh pada sistem pemerintahan fir’aunisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar